Monday, November 01, 2010

Fotografi dalah salah satu hobi terkait mengabadikan moment melalui sebuah gambar dengan menggunakan kamera. Terlebih saat ini banyak sekali model kamera. Mulai dari kamera analog hingga digital. Harganya pun saat ini mulai terjangkau.

Melalui foto, orang bisa mengabadikan kegiatannya. Pada saat pesta pernikahan, kelahiran anak, pada saat piknik ke pantai maupun candi prambanan. Melalui foto, bisa mengingatkan banyak hal kepada yang bersangkutan. Berbagai pengalaman sedih, senang maupun lucu.

Jadi abadikan segala aktifitas melalui fotografi :)

Sunday, January 03, 2010

Konstruksi Media: Dalam Islam dan Terorisme
Terorisme identik dengan Islam, benarkah labelisasi yang diberikan bahwa Indonesia adalah sarang terorisme, mengapa kemudian labelisasi tersebut muncul. Bagaimana peran media di dalamnya. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak kita akan adanya labelisasi terhadap Indonesia dan Islam pada khususnya.
Labelisasi yang pertama, berkaitan dengan terorisme identik dengan Islam, erat kaitannya dengan terorisme yang belakangan terjadi. Sejak tragedi World Trade Center (WTC) 11 September 2001, persepsi dunia Barat terhadap Islam semakin negatif. Meskipun dalam kasus tersebut sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa dalang di balik peristiwa tersebut. Walaupun didengungkan di balik peristiwa tersebut adalah Al-Qaeda. Setelah kejadian tersebut, dunia barat khususnya Amerika Serikat semakin gencar memburu para teroris.
Kemudian labelisasi yang kedua berkaitan dengan Indonesia sebagai sarang teroris, diawali dengan adanya peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang kemudian peristiwa tersebut dikenal dengan Bom Bali I, yang didalangi oleh Imam Samudra, Ali Gufron alias Mukhlas dan Amrozi. Trio Bom Bali I mengaku apa yang dilakukan tersebut dengan alasan Jihad, berjuang atas nama Islam. Hal inilah pada akhirnya menyebabkan banyak orang mengutuk aksi tersebut. Sampai pada akhirnya nama Islam dan Indonesia dibawa-bawa. Islam diidentikkan dengan agama kekerasan sedangkan Indonesia diidentikkan dengan negara sarang teroris.
Efek Terorisme
Dari berbagai peristiwa yang telah terjadi, terorisme selalu berhubungan dengan kekerasan, kehancuran, kematian dan perasaan terancam maupun tertekan. Meskipun pada setiap aksinya para sebagian teroris mengatakan bahwa aksinya atas nama jihad, berjuang atas nama Islam, namun jika kita membaca dan mempelajari dalam Al-Qur’an tidak dibenarkan seorang muslim untuk membunuh orang lain baik muslim maupun non muslim apapun alasannya.
Dalam Al-Qur’an surat An Nisaa’ ayat 92-93 disebutkan “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat (pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh bersedekah (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat). Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut0turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barang siapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Pada kasus-kasus teror yang terjadi di Indonesia bebarapa bulan terakhir ini apakah para pelaku memikirkan keluarga korban-korban yang ditinggalkan. Istri, anak, orang tua maupun keluarga lain. Apakah pelaku memikirkan bagaimana kelanjutan hidup mereka yang hidupnya bergantung pada suami, orang tua, anak yang mereka (pelaku) bunuh.
Mereka (pelaku) bisa saja menganggap bahwa para korban yang tidak bersalah telah mati dalam keadaan syahid. Tetapi bagaimana keluarga-keluarga yang ditinggalkan? Bagaimana nasib para korban yang mengalami cacat seumur hidup? Apakah para pelaku mengganti biaya pengobatan? Apakah para pelaku bersedia menggantikan peran para korban dalam menghidupi keluarganya? Minta maafpun tidak dilakukan. Yang ada hanyalah rasa dendam di hati para keluarga yang ditinggalkan maupun para korban cacat.
Dari dua ayat tersebut sudah jelas bahwa Islam tidak membenarkan membunuh orang lain meskipun orang tersebut bukan muslim. Seno Gumira Ajidarma mengatakan ketika pembunuhan orang tak berdosa menjadi halal untuk dilaksanakan segolongan orang, pasti ada yang gawat dalam masyarakat yang secara tidak langsung melahirkan golongan dengan cara berfikir seperti itu (Ajidarma, 2004:153). Memang benar jika ada asap pasti ada api.
Namun apapun alasannya apa yang dilakukan para teroris tidak dapat dibenarkan. Meskipun yang dilakukan dengan alasan untuk kebaikan bangsa, negara maupun agama. Tetapi jika hal tersebut telah membuat orang lain merasa terancam, menimbulkan rasa dendam di hati mereka, sama saja apa yang dilakukan telah membawa mudharat yang lebih banyak dibandingkankan manfaatnya.
Memerangi sesuatu dengan tindakan anarkis atau kekerasan hanya akan menimbulkan permasalahan yang lain. Dan sudah terbukti. Setelah kasus-kasus terorisme kemarin apakah para korban telah diketahui berapa keluarganya, bagaimana nasib keluarganya setelah ditinggalkan, bagaimana nasib korban yang cacat dan bagaimana keluarganya melanjutkan hidup, karena penopang pemasukan keluarga, tubuhnya mengalami cacat bahkan meninggal. Tidak banyak yang mengetahui. Media hanya mengekspos para pelaku, para teroris, bukan nasib para korban.
Peran Media dalam Mengkonstruksi Pesan dan Labelisasi Terorisme
Banyak ulama yang menolak atas pelabelan Islam dengan agama yang identik dengan kekerasan. Namun setiap pasca kejadian aksi terror yang terjadi mulai pada peledakan gedung WTC di Amerika pada 11 September 2001, Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, kemudian ledakan Marriot pada Agustus 2003, Bom Bali II pada 1 Oktober 2005, kemudian ledakan di Marriot dan Ritz Carlton pada 17 juli 2009 yang lalu, kata-kata terorisme dan Islam banyak “menghiasi” media massa nasional maupun internasional.
Kemudian pelabelan yang muncul bahwa teroris identik dengan Islam atau sebaliknya Islam identik dengan teroris banyak berkembang. Hal tersebut menimbulkan banyak tanggapan dari ulama. Sampai pada akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penolakan atas stigmatisasi dan labelisasi Islam dan terorisme.
Seperti yang dikatakan Yasraf Amir Piliang, terorisme kemudian menemukan bentuk sebagai semiotisasi teror (semiotication of terror), yaitu menjadikan peristiwa teror sebagai tanda dan tontonan lewat berbagai media dalam rangka menciptakan citra, makna atau label-label tertentu tentang sebuah kelompok masyarakat atau negara tertentu yang berkaitan dengan aksi teror tersebut. (Piliang, 2003:90)
Media, baik media cetak, elektronik (televisi, radio) maupun online (melalui internet) pada setiap peristiwa telah memberikan informasi-informasi yang terkait dalam peristiwa tersebut. Informasi-informasi yang diberikan tentu saja sesuai dari sudut pandang media tersebut.
Media dapat dipandang sebagai agen konstruksi sosial. Karena di sini media dapat memberitakan atau memberikan informasi sesuai realita atau kenyataan. Ada proses komunikasi dalam mengkonsumsi media. Proses komunikasi ini terjadi antara media yang menyampaikan pesan dan penonton (dalam hal ini adalah masyarakat).
Ketika memberikan informasi, karena media sebagai agen konstruksi sosial, apa yang diinformasikan akan memberikan makna dan pemahaman yang berbeda-beda dari masyarakat. Hal ini juga tergantung bagaimana media tersebut dalam mengkonstruksi makna. Seperti yang dikatakan Alex Sobur bahwa sebuah konstruksi makna menggiring pemahaman publik (Sobur, 2006:41).
Terkait hal tersebut, dapat kita pahami bahwa bahasa-bahasa yang ditampilkan oleh media telah menentukan persepsi-persepsi yang timbul di kalangan masyarakat luas. Seperti yang dikatakan John Storey bahwa para professional media yang terlibat di dalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial “mentah” diencoding dalam wacana. Akan tetapi, pada momen kedua, segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana “bebas dikendalikan”, suatu pesan kini terbuka (Storey, 1996:13).
Para pelaku medialah yang berperan atas persepsi yang timbul pada masyarakat. Realitas yang ada dikemas dengan bahasa menarik untuk membawa publik seakan-akan berada dalam peristiwa tersebut. Menurut Alex Sobur manakala bahasa digunakan oleh media massa, maka sebetulnya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dalam menanamkan stereotip atau prasangka tertentu (Sobur, 2006:40). Dapat dikatakan bahwa kepiawaian media dalam mengemas informasi telah menggiring pemahaman publik.
Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa di dalam wujud citranya, aksi teror kini menjadi sebuah tontonan global “global spectacle”. Tujuan utama terorisme memang bukanlah kehancuran dan kematian itu sendiri, melainkan bagaimana kehancuran dan kematian tersebut menjadi sebuah panggung tontonan lewat media cetak, elektronik atau digital. Diharapkan semakin luas diseminasi medianya semakin massal orang yang melihatnya maka akan semakin dasyat efek ketakutan, kengerian, dan trauma yang ditimbulkannya. (Piliang, 2003:89).
Kita akui memang, setiap terjadi sebuah peristiwa misalnya peristiwa Bom Bali atau lainnya, media baik itu cetak maupun elektronik pasti akan segera memburu sumber-sumber terkait. Bahkan pemberitaan stasiun televisi, radio dan media cetak tidak ada perbedaan yang berarti. Masyarakat memang haus akan informasi, namun ketika informasi yang diberikan adalah hal yang sama atau bahkan informasi yang belum pasti, hal tersebut hanya akan menimbulkan kebingungan. Misalnya, ketika ada seseorang yang baru “diduga” sebagai pelaku pengeboman, hampir pasti setiap media akan memberitakannya. Seluruh keluarga, tempat sekolahnya dulu, kampung bahkan teman “pelaku” yang baru “diduga” tersebut diwawancarai atau diberitakan. Tanpa melihat bagaimana persepsi masyarakat luas terhadap setiap orang yang diberitakan tersebut nantinya.
Bagaimana jika ternyata berita tersebut salah, yang baru “diduga” ternyata sama sekali tidak pernah berhubungan dengan pengeboman. Apakah media selanjutnya “berusaha” untuk mengembalikan citra “pelaku”. Padahal dengan banyaknya pemberitaan mengenai “diduga sebagai pelaku” telah membawa citra yang buruk bagi orang tersebut, termasuk keluarga, orang-orang di sekitarnya, kampung maupun bekas sekolahnya. Perlu ada keseimbangan pemberitaan yang diberikan oleh media.

Kesimpulan
Islam bukan agama kekerasan itulah yang sebenarnya ingin ditegaskan oleh para umat Islam khususnya dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika menolak pelabelan bahwa Islam agama kekerasan. Karena Islam tidak pernah mengajarkan untuk membunuh. Ketika ada seorang muslim membunuh muslim yang lain atau bahkan ketika seorang muslim membunuh non muslim, ada kewajiban yang harus dilakukan untuk “menebus” kesalahan yang dilakukan seorang muslim tersebut. Hal tersebut telah diatur dengan jelas pada Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 92-92.
Kita harus mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, an eye for an eye makes the whole world blind. Sederhananya adalah ketika kekerasan dilakukan untuk membalas kekerasan yang telah dilakukan oleh orang lain, hal tersebut hanya akan membawa kekerasan yang lain bahkan membawa permasalahan yang lain. Akan timbul saling membalas yang tidak tahu kapan berhentinya. Belum lagi korban-korban lain yang tidak bersalah.
Terorisme, selalu identik dengan kekerasan fisik maupun mental namun ketika media memberitakan yang tidak sesuai dengan kenyataannya, juga hanya akan membawa teror lain bagi orang lain. Media memberitakan informasi berdasarkan realita yang ada. Namun pilihan bahasa yang dipakai oleh media akan mempengaruhi publik dalam mempersepsi berita yang disampaikan. Media perlu memberitakan dengan seimbang apa yang disampaikan. Media juga perlu memperhatikan bahasa-bahasa maupun pilihan kata yang dipakai, karena konstruksi makna yang dibuat media akan menggiring pemahaman publik.


Referensi
Ajidarma, Seno Gumira.2004.Affair:Obrolan Tentang Jakarta.Yogyakarta:Buku Baik
Piliang,Yasraf Amir.2003.Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial.Solo:Tiga Serangkai
Sobur,Alex.2006.Analisis Teks Media.Bandung:Rosdakarya
Storey,John.2007.Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.Yogyakarta:Jalasutra
Undang-Undang Saling Tumpang Tindih.
oleh : Dian Karyati Pamungkas
mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
dimuat Kompas Yogya Jum'at, 12 Juni 2009

Kasus seorang ibu rumah tangga yang bernama Prita Mulyasari belakangan ini semakin rumit saja. Dari dugaan adanya layanan gratis untuk kejaksaan yang menangani kasus Prita, Jaksa Penuntut kasus tersebut juga dianggap tidak profesional oleh Jaksa Agung, sampai DPR juga turun tangan mendesak agar Rumah Sakit OMNI mencabut gugatannya terhadap Prita Mulyasari.

Dalam kasus tersebut, Ibu Prita awalnya hanya menyampaikan keluhannya atas pelayanan Rumah sakit OMNI ketika ia sakit kepada teman-temannya melalui e-mail. Namun apa yang telah dilakukannya berbuntut panjang. Ibu dari dua anak ini malah dititipkan di Lapas Wanita Tangerang oleh Kejaksaan Negeri Tangerang karena dianggap telah mencemarkan nama baik rumah sakit melalui internet.

Prita dijerat dengan Pasal 27 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektonik (Undan-Undang ITE) tentang pencemaran nama baik melalui dunia maya. Menggunakan Undang-Undang tersebut rumah sakit OMNI tentu merasa benar, karena kredibilitas mereka dicemarkan melalui e-mail.

Hanya saja apa yang dilakukan oleh Ibu Prita juga benar jika menggunakan Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen No 8 tahun 1999 pasal 4 disebutkan tentang hak konsumen.

Konsumen disebutkan berhak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsurnsi barang dan/atau jasa; konsumen juga memiliki hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; hak konsumen atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;

Selain itu juga disebutkan bahwa konsumen berhak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan / atau jasa yang digunakan; sebagai konsumen juga mempunyai hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif.

Ini hanya beberapa hal saja yang diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Jika kita perhatikan benar-benar, apa yang dilakukan oleh Ibu Prita hanya menuntut hak yang seharusnya ia peroleh. Ia tidak bermaksud dengan sengaja menjelek-jelekkan rumah sakit OMNI.

Hanya saja Rumah Sakit OMNI tetap menganggap bahwa Prita Mulyasari bersalah, tanpa mengevaluasi apakah yang disampaikan Ibu Prita melalui e-mailnya itu benar atau salah. Tidak memeriksa kembali data-data atau memberikan data-data yang bisa membuktikan bahwa apa yang disampaikan oleh pasiennya dulu itu salah.

Apa yang dilakukan oleh Rumah Sakit OMNI malah menjadi boomerang. Publik semakin menimpakan kesalahan kepada OMNI. Rumah Sakit OMNI terlihat semakin salah terlebih dengan adanya dugaan memberikan fasilitas pelayanan gratis kepada Kejaksaan Tangerang.

Kita tidak bisa langsung menyalahkan atau membenarkan kedua pihak yang saling bersitegang ini. Keduanya sama-sama menggunakan dalih Undang-Undang yang dibuat oleh pemerintah. Sama-sama memiliki kekuatan untuk menjerat siapa saja yang dianggap melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku sesuai Undang-Undang tersebut.

Bisa dikatakan bahwa baik UU ITE maupun UU Perlindungan Konsumen saling tumpang tindih. Undang-Undang satu dengan yang lain bukan saling melengkapai namun semakin membuat bingung masyarakat.
Jika kita melihat kasus-kasus yang terjadi, bukan hanya kasus Ibu Prita, tetapi kasus sejenis. Seperti kasus Khoo Seng Seng alias Aseng dan Kwee Meng Luan alias Winny. Keduanya dituntut hukuman satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun atas tuduhan memfitnah PT Duta Pertiwi Tbk. Melalui surat pembaca.

Para pemilik kios di pertokoan ITC Mangga Dua, itu dijerat dengan pasal 311 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Kejaksaan tidak menggunakan UU No 12 tahun 1999 tentang pers, karena surat pembaca dianggap bukan karya jurnalistik.

Kasus ini juga bukan yang pertama. Masih banyak kasus-kasus lain yang terjadi yang menunjukkan bahwa peraturan yang ada saling tumpang tindih. Siapa sebenarnya yang bisa dipercaya untuk melindungi masyarakat. Siapa sebenarnya yang bisa melindungi rakyat. Jika peraturan-peraturan pemerintah yang seharusnya bisa melindungi namun ternyata peraturan-peraturan tersebut bisa juga membuat dibui.
Tersisa banyak PR, siapa yang Salah?
Oleh : Dian Karyati Pamungkas
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
dimuat Harian Jogja, 21 April, 2009

Pemilu untuk pemilihan legislatif (pileg) telah usai. Namun pemilu yang dilaksanakan pada 9 April 2009 ini menyisakan banyak “PR”. Kasus DPT ganda, tidak terdaftar dalam DPT maupun adanya dugaan penggelembungan suara. “PR” ini tidak hanya bagi KPU, tetapi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Baik pemerintah, parpol, dan juga masyarakat.

Namun kenyataannya, sekarang ini yang banyak terlihat adalah saling menyalahkan antara pihak satu dengan yang lain. Parpol menyalahkan pemerintah pusat, pemerintah pusat menyalahkan daerah, Depdagri menyalahkan masyarakat karena kurang aktif, sedangkan menurut Dewan Perubahan nasional (DPN) kasus ini merupakan kesalahan dari Presiden, Departemen Dalam Negeri, dan Komisi Pemilihan Umum.

Tetapi benarkah ini murni hanya kesalahan pihak-pihak tertentu saja?? Benarkah tuduhan masing-masing pihak ini?? Dan apakah masyarakat luas memahami permasalahan-permasalahan ini??
Jika saling menyalahkan ini terus berlarut-larut, bukan cepat selesai namun akan semakin rumit. Seharusnya ada upaya untuk menyelesaikannya, sehingga pada Pilihan presiden (Pilpres) nanti tidak terjadi banyak permasalahan.

Tanggung jawab seharusnya tidak hanya di tubuh KPU tetapi juga pemerintah, parpol, dan juga masyarakat itu sendiri. Untuk menebus kesalahan, KPU harus mengupayakan agar pada pilpres nanti tidak akan ada masalah.

Antara pemerintah, parpol dan KPU harus duduk bersama membahas apa sebenarnya inti dari permasalahan itu, apa penyebabnya. Sedangkan masyarakat, jika tidak ada sosialisasi apa yang seharusnya dilakukan masyarakat, bagaimana mereka tahu, misalnya saja pada kasus tidak tercantum DPT, mereka tidak mengecek sudah masuk DPT atau belum, karena mengira sudah terdaftar seperti pada pemilu sebelumnya.

Dari KPU sendiri pernahkah mengadakan survey keinginan masyarakat tentang penyelenggaraan pemilu, seperti kasus pergantian proses pemilu dari coblos jadi contreng. Yang menurut KPU itu lebih mencerdaskan masyarakat, tetapi pada kenyataannya banyak kasus masyarakat bingung akan perubahan tersebut.

Dari parpol sendiri yang seharusnya lebih dekat dengan masyarakat, paling tidak dengan para simpatisannya, apakah sebelumnya sudah menganjurkan untuk mengecek nama mereka telah terdaftar dalam DPT ataukah belum. Karena secara tidak langsung hal ini berpengaruh pada perolehan suara parpol pada pemilu.

Sebenarnya kasus DPT dan kasus-kasus yang lain bisa dihindarkan apabila dari awal antara KPU,pemerintah pusat, pemerintah daerah, parpol dan juga masyarakat, saling bekerja sama.
Pemerintah pusat dan juga KPU melalui pemerintah daerah, KPUD dan parpol-parpol yang tersebar di setiap daerah bekerja sama dalam mensosialisasikan DPT, sistem pemilu yang baru dan bagaimana seharusnya masyarakat dalam mengawasinya.

Karena masyarakat tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Masyarakat tidak mengerti kenapa namanya tidak tercantum dalam DPT yang lalu,. Yang masyarakat tahu mereka akan menggunakan hak pilihnya tentu saja untuk perubahan negeri ini menuju yang lebih baik lagi, yang masyarakat tahu mereka tinggal menggunakan hak pilihnya, dan mengawasi proses pemilu agar terlaksana dengan baik. Dan yang paling pokok untuk masyarakat saat ini adalah bukan melihat para elite pilitik dan juga pemerintah saling meributkan, siapa “kambing hitam” akan permasalahan-permasalahan pada pileg kemarin. Lalu, siapa sebenarnya yang salah dan patut dipersalahkan?

Saturday, August 29, 2009

Sunday, November 04, 2007

“Perkosaan” Hak Siar Liga Inggris oleh Astro

Oleh : Dian Karyati Pamungkas

Penulis adalah mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta


Kita semua pasti belum bisa lepas dari kasus monopoli siaran Liga Inggris oleh Astro. Dimana Astro telah membeli hak siar tayangan tersebut dari ESS. ESS merupakan perusahaan yang didirikan oleh ESPN dan Star Sport yang memegang hak siar eksklusif Liga Inggris.

Astro telah melanggar hak publik untuk menonton siaran Liga Inggris. Sebelumnya para penggemar Liga Inggris dapat melihat acara tersebut dengan mudah. Karena acara tersebut dapat dilihat melalui televisi terrestrial atau televisi nonbayar yaitu Trans-7. Selain itu acara tersebut juga dapat disaksikan melalui televisi berlangganan yaitu saluran ESPN dan Star Sport yang dapat diakses melalui Indovision, Kabelvision, dan telkomvision.

Dengan adanya “perkosaan” Astro terhadap hak siar Liga Inggris ini telah mengubah semuanya. Siapapun yang ingin menyaksikan seluruh pertandingan Liga Inggris harus merogoh uang sebesar Rp. 200.000,00 per bulan. Bagaimana dengan publik yang tidak berlangganan Astro, tentu saja hanya bisa gigit jari. Mereka hanya bisa melihat cuplikan beritanya saja.

Padahal dari 370 pertandingan yang akan disiarkan oleh Astro pastinya tidak akan dilihat semuanya oleh publik. Mereka pasti hanya ingin melihat tim-tim kesayangannya saja atau ketika ada jadwal pertandingan “big match” misalnya MU vs Arsenal. Jadi ketika mereka harus mengeluarkan uang 200 ribu selama sebulan pasti keberatan, lebih-lebih bagi orang-orang yang berpenghasilan menengah ke bawah.

Apa yang dilakukan astro juga telah mematikan akses operator berbayar lainnya seperti Telkomvision, Indovision IM2 maupun Kabelvision yang pada musim sebelumnya dapat menayangkan siaran Liga Inggris. Ketiga operator tersebut juga telah melaporkan Asto kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dengan dugaan atas hak siar Liga Inggris. Dilaporkan juga bahwa ada konspirasi antara ESS dan Astro dalam pemberian hak eksklusif Liga Inggris karena ESS hanya menawarkan kepada Astro sedangkan tiga operator tersebut tidak pernah diundang dalam tender tersebut.

Komoditas seperti tayangan Liga Inggris ini merupakan kunci sukses permainan para konglomerasi media. Dan dengan penggunaan teknologi media inilah para konglomerasi media memperoleh keuntungan yang berlipat.

Karena dengan monopoli siaran Liga Inggris seperti yang telah dilakukan Astro ini, mau tidak mau publik harus berlangganan Astro. Apalagi jika publik menginginkan melihat seluruh pertandingan Liga Inggris.

Meskipun saat ini Astro bersedia membagi akses tayangan dengan televisi nonbayar dalam hal ini yang memenangkan tender adalah Lativi. Namun dari satu siaran langsung dan dua siaran tunda hasil dari “kebaikan” Astro hanya merupakan pertandingan-pertandingan yang bisa dikatakan “ecek-ecek”. Sedangkan pertandingan-pertandingan big match jarang sekali diberikan. Jadi tetap saja “kebaikan” Astro yang mau berbagi ini perlu dipertanyakan.

Akhirnya lingkungan semakin berkembang tidak teratur dimana Astro dilaporkan dengan dugaan monopoli. Dominasi tayangan yang telah dilakukan Astro ini menyebabkan akses tidak seimbang di kalangan publik. Dan ini memperlihatkan bagaimana dominasi media global terhadap media-media lain. Dimana media-media tersebut terus berkembang dan dikuasai oleh segelintir media konglomerasi transnasional.


Referensi :

Deveroux, Eoin. 2003. Understanding the Media. Sage Publication. London
Kompas. Jum’at, 14 September 2007
Koran tempo. Kamis, 23 Agustus 2007

Wednesday, November 15, 2006

Percaya pada Ahlinya!
oleh:Dian Karyati P.(penulis adalah mahasiswi
jurusan Ilmu Komunikasi,
Universitas Muhammadiayah Yogyakarta,
peserta mata kuliah Teori Komunikasi 2006/2007)


Kita pernah mendengar ungkapan "....jika kita memberikan pekerjaan pada orang yang bukan ahlinya, maka siap-siap datangnya kehancuran..." Karena memiliki sebuah keahlian merupakan salah satu hal yang pokok. Dalam bukunya E.M.Griffin (Communication Theory), dijelaskan bahwa semakin kita memiliki keahlian, semakin banyak orang yang percaya pada kita.

Dalam bukunya E.M.Griffin juga dijelaskan:
"Hovland and his colleagues discovered that a message from a high_credibility source produced large shifts in opinion, compared to the same message coming from a low_credibility source"
("................ bahwa pesan yang berasal dari sumber kredibilitas yang tinggi akan menimbulkan perubahan pendapat yang cepat dibandingkan pesan yang sama dari sumber yang memiliki kredibilitas yang rendah")

Seperti dalam film "The Bone Collector"(1999), dalam film tersebut dapat dilihat pengaruh sebuah keahlian terhadap kepercayaan. Ketika seorang ahli forensik yang cacat, dipercaya ketika memilih seorang opsir polisi lalu lintas untuk membantunya menangani kasus pembunuhan berantai. Daripada menyerahkan kasus tersebut kepada seorang polisi yang normal(tidak cacat) namun memiliki kepribadian dan kemampuan menganalisa kasus yang kurang baik.

Bisa dikatakan bahwa kepribadian dan keahlian merupakan suatu hal yang pokok dalam berkomunikasi dengan orang lain. Orang yang berkepribadian yang baik dan memiliki suatu keahlian, pasti banyak orang yang menaruh kepercayaan padanya. Dan hal tersebut juga berlaku sebaliknya.

Contoh dan pembahasan di atas merupakan tradisi sosiopsikologi, yang berkonsentrasi pada aspek-aspek komunikasi yang meliputi ekspresi, interaksi dan pengaruh. Wacana dalam tradisi ini menekankan pada perilaku, variabel pengaruh, kepribadian dan tingkah laku, persepsi, kognisi, tindak tanduk, dan interaksi. Tradisi ini benar-benar tradisi yang kuat terutama pada saat kepribadian menjadi begitu penting, penilaian dibiaskan oleh kepercayaan dan perasaan, dan orang menjadi punya pengaruh atas orang lain.(www.teorikomunikasi-umy.blogspot.com)

Saturday, November 11, 2006

Televisi "Menuntun" Cara Berfikir Manusia
oleh:Dian Karyati P.(penulis adalah mahasiswi
jurusan Ilmu Komunikasi,Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta,peserta mata
kuliah Komunikasi Massa 2006/2007


Saat ini televisi bukan sebuah hal yang baru. Hampir pada setiap rumah kita dapat menemukannya. Didukung dengan banyaknya stasiun televiasi yang ada, seperti: RCTI,SCTV,TPI,ANTEVE,INDOSIAR,TRANS TV,TV7,dsb. Stasiun-stasiun televisi tersebut kemudian memberikan program-program acara yang memikat pemiirsanya. Dari berita nasional,berita kriminal,sinetron,musik,sampai pada acara olahraga. Acara-acara tersebut pada prinsipnya memberikan kesenangan/hiburan kepada pemirsanya.

Dari televisi itulah terjadi proses penympaian pesan kepada khalayak,sehingga mereka dapat memperoleh informasi. Misalnya: ketika terjadi bencana gempa di Jogja dan Jawa Tengah pada 27 Mei lalu,dengan melihat beritanya di televisi,orang-orang dapat mengetahui situasi yang terjadi pada saat itu.

Namun disamping dengan segala keuntungan yang diperoleh,televisi telah banyak mempengaruhi cara berfikir manusia. Bisa dikatakan bahwa televisi telah mendarah daging dalam benak manusia. Dengan segala program televisi yang disuguhkan,dari acara yang berlatar belakang kekerasan,pornoaksi,maupun acara-acara musik ataupun acara bernuansa hiburan.

Hal ini merupakan bentuk dari efek media. Misal:ketika ada seorang anak balita yang melihat adegan perkelahian dalam film Power Rangers, kemudan ia menirukannya. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya anak-anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan khayalan mereka. Biasanya anak-anak tersebut menganggap mereka bisa menirukan apa yang mereka lihat di televisi.

Dari contoh di atas,George Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation(kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogean dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Garbner,dibandingkan media massa yang lain,teleisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi"lingkungan simbolik"kita,dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya(Mc Quail,1996:254)
(www.komunikasimassa-umy.blogspot.com)

Monday, October 30, 2006

Tradisi Semiotika dalam "Memaknai" Iklan Sprite Ice
oleh: Dian Karyati P.(penulis adalah
mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
peserta mata kuliah Teori Komunikasi 2006/2007)


Kita semua pasti ingat tentang iklan sprite ice. Dalam iklan tersebut digambarkan, seorang cowokyang bersuhu tubuh tinggi, tangannya dapat digunakan untuk mendidihkan air dan juga untuk menyetrika, punggungnyapun digunakan untuk membakar sate. Tetapi ketika dia minum sprite ice, seperti api disiram air, begitu tangannya menyentuh air di kolam renang, semuanya membeku, termasuk orang yang berenang di dalamnya.

Jika kita melihat iklan sprite ice dihubungkan denan tradisi semiotika dapat dimaknai bahwa produsen sprite ice, menginformasikan bahwa selain menghilangkan dahaga, sprite ice juga memberikan sensasi sedingin es. Dan konsumen yang menikmatinya dapat membayangkan dirinya seakan-akan dalam iklan tersebut.

Tradisi semiotika(semiology)merupakan tradisi yang difokuskan pada tanda-tanda dan simbol-simbol. Menurut Saussure, tanda bahasa (sign) tidak lepas dari beberapa unsur, yaitu pertama, penanda (signifier)dan petanda(signified). Penanda adalah aspek material dari satu tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa. Relasi keduanya bersifat arbiter(arbitraty) atau diada-adakan.Dalam kajian semiotika, bukan "isi' yang menentukan makna, tetapi "relasi-relasi" dalam berbagai sistem, seperti yang diutarakan oleh Saussure bahwa sifat yang paling tepat untuk menggambarkan konsep tersebut adalah "ada dalam keberadaannya, sedang yang lain tidak". Sehingga tidak ada makna pada dirinya sendiri, karena semua terbentuk dari relasi (Saussure dalam Berger 2000:7) (www.komunikasimassa-umy.blogspot.com)

Tradisi semiotika yang ada mendatangkan sesuatu yang mungkin dan tidak mungkin dibagi. Tradisi ini memang cocok untuk memecahkan masalah,kesalahpahaman dan respon-respon subyektif. (www.teorikomunikasi-umy.blogspot.com)