Sunday, January 03, 2010

Konstruksi Media: Dalam Islam dan Terorisme
Terorisme identik dengan Islam, benarkah labelisasi yang diberikan bahwa Indonesia adalah sarang terorisme, mengapa kemudian labelisasi tersebut muncul. Bagaimana peran media di dalamnya. Ada banyak pertanyaan yang muncul di benak kita akan adanya labelisasi terhadap Indonesia dan Islam pada khususnya.
Labelisasi yang pertama, berkaitan dengan terorisme identik dengan Islam, erat kaitannya dengan terorisme yang belakangan terjadi. Sejak tragedi World Trade Center (WTC) 11 September 2001, persepsi dunia Barat terhadap Islam semakin negatif. Meskipun dalam kasus tersebut sampai saat ini belum dapat dipastikan siapa dalang di balik peristiwa tersebut. Walaupun didengungkan di balik peristiwa tersebut adalah Al-Qaeda. Setelah kejadian tersebut, dunia barat khususnya Amerika Serikat semakin gencar memburu para teroris.
Kemudian labelisasi yang kedua berkaitan dengan Indonesia sebagai sarang teroris, diawali dengan adanya peristiwa Bom Bali pada tanggal 12 Oktober 2002 yang kemudian peristiwa tersebut dikenal dengan Bom Bali I, yang didalangi oleh Imam Samudra, Ali Gufron alias Mukhlas dan Amrozi. Trio Bom Bali I mengaku apa yang dilakukan tersebut dengan alasan Jihad, berjuang atas nama Islam. Hal inilah pada akhirnya menyebabkan banyak orang mengutuk aksi tersebut. Sampai pada akhirnya nama Islam dan Indonesia dibawa-bawa. Islam diidentikkan dengan agama kekerasan sedangkan Indonesia diidentikkan dengan negara sarang teroris.
Efek Terorisme
Dari berbagai peristiwa yang telah terjadi, terorisme selalu berhubungan dengan kekerasan, kehancuran, kematian dan perasaan terancam maupun tertekan. Meskipun pada setiap aksinya para sebagian teroris mengatakan bahwa aksinya atas nama jihad, berjuang atas nama Islam, namun jika kita membaca dan mempelajari dalam Al-Qur’an tidak dibenarkan seorang muslim untuk membunuh orang lain baik muslim maupun non muslim apapun alasannya.
Dalam Al-Qur’an surat An Nisaa’ ayat 92-93 disebutkan “Dan tidak layak bagi seorang mu’min membunuh seorang mu’min (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja) dan barang siapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat (pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh bersedekah (membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat). Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mu’min, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barang siapa yang tidak memperolehnya hendaklah ia berpuasa dua bulan berturut0turut untuk penerimaan taubat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Dan barang siapa membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”
Pada kasus-kasus teror yang terjadi di Indonesia bebarapa bulan terakhir ini apakah para pelaku memikirkan keluarga korban-korban yang ditinggalkan. Istri, anak, orang tua maupun keluarga lain. Apakah pelaku memikirkan bagaimana kelanjutan hidup mereka yang hidupnya bergantung pada suami, orang tua, anak yang mereka (pelaku) bunuh.
Mereka (pelaku) bisa saja menganggap bahwa para korban yang tidak bersalah telah mati dalam keadaan syahid. Tetapi bagaimana keluarga-keluarga yang ditinggalkan? Bagaimana nasib para korban yang mengalami cacat seumur hidup? Apakah para pelaku mengganti biaya pengobatan? Apakah para pelaku bersedia menggantikan peran para korban dalam menghidupi keluarganya? Minta maafpun tidak dilakukan. Yang ada hanyalah rasa dendam di hati para keluarga yang ditinggalkan maupun para korban cacat.
Dari dua ayat tersebut sudah jelas bahwa Islam tidak membenarkan membunuh orang lain meskipun orang tersebut bukan muslim. Seno Gumira Ajidarma mengatakan ketika pembunuhan orang tak berdosa menjadi halal untuk dilaksanakan segolongan orang, pasti ada yang gawat dalam masyarakat yang secara tidak langsung melahirkan golongan dengan cara berfikir seperti itu (Ajidarma, 2004:153). Memang benar jika ada asap pasti ada api.
Namun apapun alasannya apa yang dilakukan para teroris tidak dapat dibenarkan. Meskipun yang dilakukan dengan alasan untuk kebaikan bangsa, negara maupun agama. Tetapi jika hal tersebut telah membuat orang lain merasa terancam, menimbulkan rasa dendam di hati mereka, sama saja apa yang dilakukan telah membawa mudharat yang lebih banyak dibandingkankan manfaatnya.
Memerangi sesuatu dengan tindakan anarkis atau kekerasan hanya akan menimbulkan permasalahan yang lain. Dan sudah terbukti. Setelah kasus-kasus terorisme kemarin apakah para korban telah diketahui berapa keluarganya, bagaimana nasib keluarganya setelah ditinggalkan, bagaimana nasib korban yang cacat dan bagaimana keluarganya melanjutkan hidup, karena penopang pemasukan keluarga, tubuhnya mengalami cacat bahkan meninggal. Tidak banyak yang mengetahui. Media hanya mengekspos para pelaku, para teroris, bukan nasib para korban.
Peran Media dalam Mengkonstruksi Pesan dan Labelisasi Terorisme
Banyak ulama yang menolak atas pelabelan Islam dengan agama yang identik dengan kekerasan. Namun setiap pasca kejadian aksi terror yang terjadi mulai pada peledakan gedung WTC di Amerika pada 11 September 2001, Bom Bali I pada 12 Oktober 2002, kemudian ledakan Marriot pada Agustus 2003, Bom Bali II pada 1 Oktober 2005, kemudian ledakan di Marriot dan Ritz Carlton pada 17 juli 2009 yang lalu, kata-kata terorisme dan Islam banyak “menghiasi” media massa nasional maupun internasional.
Kemudian pelabelan yang muncul bahwa teroris identik dengan Islam atau sebaliknya Islam identik dengan teroris banyak berkembang. Hal tersebut menimbulkan banyak tanggapan dari ulama. Sampai pada akhirnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan penolakan atas stigmatisasi dan labelisasi Islam dan terorisme.
Seperti yang dikatakan Yasraf Amir Piliang, terorisme kemudian menemukan bentuk sebagai semiotisasi teror (semiotication of terror), yaitu menjadikan peristiwa teror sebagai tanda dan tontonan lewat berbagai media dalam rangka menciptakan citra, makna atau label-label tertentu tentang sebuah kelompok masyarakat atau negara tertentu yang berkaitan dengan aksi teror tersebut. (Piliang, 2003:90)
Media, baik media cetak, elektronik (televisi, radio) maupun online (melalui internet) pada setiap peristiwa telah memberikan informasi-informasi yang terkait dalam peristiwa tersebut. Informasi-informasi yang diberikan tentu saja sesuai dari sudut pandang media tersebut.
Media dapat dipandang sebagai agen konstruksi sosial. Karena di sini media dapat memberitakan atau memberikan informasi sesuai realita atau kenyataan. Ada proses komunikasi dalam mengkonsumsi media. Proses komunikasi ini terjadi antara media yang menyampaikan pesan dan penonton (dalam hal ini adalah masyarakat).
Ketika memberikan informasi, karena media sebagai agen konstruksi sosial, apa yang diinformasikan akan memberikan makna dan pemahaman yang berbeda-beda dari masyarakat. Hal ini juga tergantung bagaimana media tersebut dalam mengkonstruksi makna. Seperti yang dikatakan Alex Sobur bahwa sebuah konstruksi makna menggiring pemahaman publik (Sobur, 2006:41).
Terkait hal tersebut, dapat kita pahami bahwa bahasa-bahasa yang ditampilkan oleh media telah menentukan persepsi-persepsi yang timbul di kalangan masyarakat luas. Seperti yang dikatakan John Storey bahwa para professional media yang terlibat di dalamnya menentukan bagaimana peristiwa sosial “mentah” diencoding dalam wacana. Akan tetapi, pada momen kedua, segera sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana “bebas dikendalikan”, suatu pesan kini terbuka (Storey, 1996:13).
Para pelaku medialah yang berperan atas persepsi yang timbul pada masyarakat. Realitas yang ada dikemas dengan bahasa menarik untuk membawa publik seakan-akan berada dalam peristiwa tersebut. Menurut Alex Sobur manakala bahasa digunakan oleh media massa, maka sebetulnya ia memiliki tanggung jawab yang lebih besar karena ketersebaran yang luas dalam menanamkan stereotip atau prasangka tertentu (Sobur, 2006:40). Dapat dikatakan bahwa kepiawaian media dalam mengemas informasi telah menggiring pemahaman publik.
Yasraf Amir Piliang mengatakan bahwa di dalam wujud citranya, aksi teror kini menjadi sebuah tontonan global “global spectacle”. Tujuan utama terorisme memang bukanlah kehancuran dan kematian itu sendiri, melainkan bagaimana kehancuran dan kematian tersebut menjadi sebuah panggung tontonan lewat media cetak, elektronik atau digital. Diharapkan semakin luas diseminasi medianya semakin massal orang yang melihatnya maka akan semakin dasyat efek ketakutan, kengerian, dan trauma yang ditimbulkannya. (Piliang, 2003:89).
Kita akui memang, setiap terjadi sebuah peristiwa misalnya peristiwa Bom Bali atau lainnya, media baik itu cetak maupun elektronik pasti akan segera memburu sumber-sumber terkait. Bahkan pemberitaan stasiun televisi, radio dan media cetak tidak ada perbedaan yang berarti. Masyarakat memang haus akan informasi, namun ketika informasi yang diberikan adalah hal yang sama atau bahkan informasi yang belum pasti, hal tersebut hanya akan menimbulkan kebingungan. Misalnya, ketika ada seseorang yang baru “diduga” sebagai pelaku pengeboman, hampir pasti setiap media akan memberitakannya. Seluruh keluarga, tempat sekolahnya dulu, kampung bahkan teman “pelaku” yang baru “diduga” tersebut diwawancarai atau diberitakan. Tanpa melihat bagaimana persepsi masyarakat luas terhadap setiap orang yang diberitakan tersebut nantinya.
Bagaimana jika ternyata berita tersebut salah, yang baru “diduga” ternyata sama sekali tidak pernah berhubungan dengan pengeboman. Apakah media selanjutnya “berusaha” untuk mengembalikan citra “pelaku”. Padahal dengan banyaknya pemberitaan mengenai “diduga sebagai pelaku” telah membawa citra yang buruk bagi orang tersebut, termasuk keluarga, orang-orang di sekitarnya, kampung maupun bekas sekolahnya. Perlu ada keseimbangan pemberitaan yang diberikan oleh media.

Kesimpulan
Islam bukan agama kekerasan itulah yang sebenarnya ingin ditegaskan oleh para umat Islam khususnya dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) ketika menolak pelabelan bahwa Islam agama kekerasan. Karena Islam tidak pernah mengajarkan untuk membunuh. Ketika ada seorang muslim membunuh muslim yang lain atau bahkan ketika seorang muslim membunuh non muslim, ada kewajiban yang harus dilakukan untuk “menebus” kesalahan yang dilakukan seorang muslim tersebut. Hal tersebut telah diatur dengan jelas pada Al-Qur’an surat An-Nisaa’ ayat 92-92.
Kita harus mengingat apa yang pernah dikatakan oleh Mahatma Gandhi, an eye for an eye makes the whole world blind. Sederhananya adalah ketika kekerasan dilakukan untuk membalas kekerasan yang telah dilakukan oleh orang lain, hal tersebut hanya akan membawa kekerasan yang lain bahkan membawa permasalahan yang lain. Akan timbul saling membalas yang tidak tahu kapan berhentinya. Belum lagi korban-korban lain yang tidak bersalah.
Terorisme, selalu identik dengan kekerasan fisik maupun mental namun ketika media memberitakan yang tidak sesuai dengan kenyataannya, juga hanya akan membawa teror lain bagi orang lain. Media memberitakan informasi berdasarkan realita yang ada. Namun pilihan bahasa yang dipakai oleh media akan mempengaruhi publik dalam mempersepsi berita yang disampaikan. Media perlu memberitakan dengan seimbang apa yang disampaikan. Media juga perlu memperhatikan bahasa-bahasa maupun pilihan kata yang dipakai, karena konstruksi makna yang dibuat media akan menggiring pemahaman publik.


Referensi
Ajidarma, Seno Gumira.2004.Affair:Obrolan Tentang Jakarta.Yogyakarta:Buku Baik
Piliang,Yasraf Amir.2003.Hantu-Hantu Politik dan Matinya Sosial.Solo:Tiga Serangkai
Sobur,Alex.2006.Analisis Teks Media.Bandung:Rosdakarya
Storey,John.2007.Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.Yogyakarta:Jalasutra

No comments: