Sunday, January 03, 2010

Tersisa banyak PR, siapa yang Salah?
Oleh : Dian Karyati Pamungkas
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
dimuat Harian Jogja, 21 April, 2009

Pemilu untuk pemilihan legislatif (pileg) telah usai. Namun pemilu yang dilaksanakan pada 9 April 2009 ini menyisakan banyak “PR”. Kasus DPT ganda, tidak terdaftar dalam DPT maupun adanya dugaan penggelembungan suara. “PR” ini tidak hanya bagi KPU, tetapi seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Baik pemerintah, parpol, dan juga masyarakat.

Namun kenyataannya, sekarang ini yang banyak terlihat adalah saling menyalahkan antara pihak satu dengan yang lain. Parpol menyalahkan pemerintah pusat, pemerintah pusat menyalahkan daerah, Depdagri menyalahkan masyarakat karena kurang aktif, sedangkan menurut Dewan Perubahan nasional (DPN) kasus ini merupakan kesalahan dari Presiden, Departemen Dalam Negeri, dan Komisi Pemilihan Umum.

Tetapi benarkah ini murni hanya kesalahan pihak-pihak tertentu saja?? Benarkah tuduhan masing-masing pihak ini?? Dan apakah masyarakat luas memahami permasalahan-permasalahan ini??
Jika saling menyalahkan ini terus berlarut-larut, bukan cepat selesai namun akan semakin rumit. Seharusnya ada upaya untuk menyelesaikannya, sehingga pada Pilihan presiden (Pilpres) nanti tidak terjadi banyak permasalahan.

Tanggung jawab seharusnya tidak hanya di tubuh KPU tetapi juga pemerintah, parpol, dan juga masyarakat itu sendiri. Untuk menebus kesalahan, KPU harus mengupayakan agar pada pilpres nanti tidak akan ada masalah.

Antara pemerintah, parpol dan KPU harus duduk bersama membahas apa sebenarnya inti dari permasalahan itu, apa penyebabnya. Sedangkan masyarakat, jika tidak ada sosialisasi apa yang seharusnya dilakukan masyarakat, bagaimana mereka tahu, misalnya saja pada kasus tidak tercantum DPT, mereka tidak mengecek sudah masuk DPT atau belum, karena mengira sudah terdaftar seperti pada pemilu sebelumnya.

Dari KPU sendiri pernahkah mengadakan survey keinginan masyarakat tentang penyelenggaraan pemilu, seperti kasus pergantian proses pemilu dari coblos jadi contreng. Yang menurut KPU itu lebih mencerdaskan masyarakat, tetapi pada kenyataannya banyak kasus masyarakat bingung akan perubahan tersebut.

Dari parpol sendiri yang seharusnya lebih dekat dengan masyarakat, paling tidak dengan para simpatisannya, apakah sebelumnya sudah menganjurkan untuk mengecek nama mereka telah terdaftar dalam DPT ataukah belum. Karena secara tidak langsung hal ini berpengaruh pada perolehan suara parpol pada pemilu.

Sebenarnya kasus DPT dan kasus-kasus yang lain bisa dihindarkan apabila dari awal antara KPU,pemerintah pusat, pemerintah daerah, parpol dan juga masyarakat, saling bekerja sama.
Pemerintah pusat dan juga KPU melalui pemerintah daerah, KPUD dan parpol-parpol yang tersebar di setiap daerah bekerja sama dalam mensosialisasikan DPT, sistem pemilu yang baru dan bagaimana seharusnya masyarakat dalam mengawasinya.

Karena masyarakat tidak tahu apa yang seharusnya mereka lakukan. Masyarakat tidak mengerti kenapa namanya tidak tercantum dalam DPT yang lalu,. Yang masyarakat tahu mereka akan menggunakan hak pilihnya tentu saja untuk perubahan negeri ini menuju yang lebih baik lagi, yang masyarakat tahu mereka tinggal menggunakan hak pilihnya, dan mengawasi proses pemilu agar terlaksana dengan baik. Dan yang paling pokok untuk masyarakat saat ini adalah bukan melihat para elite pilitik dan juga pemerintah saling meributkan, siapa “kambing hitam” akan permasalahan-permasalahan pada pileg kemarin. Lalu, siapa sebenarnya yang salah dan patut dipersalahkan?

No comments: