Wednesday, November 15, 2006

Percaya pada Ahlinya!
oleh:Dian Karyati P.(penulis adalah mahasiswi
jurusan Ilmu Komunikasi,
Universitas Muhammadiayah Yogyakarta,
peserta mata kuliah Teori Komunikasi 2006/2007)


Kita pernah mendengar ungkapan "....jika kita memberikan pekerjaan pada orang yang bukan ahlinya, maka siap-siap datangnya kehancuran..." Karena memiliki sebuah keahlian merupakan salah satu hal yang pokok. Dalam bukunya E.M.Griffin (Communication Theory), dijelaskan bahwa semakin kita memiliki keahlian, semakin banyak orang yang percaya pada kita.

Dalam bukunya E.M.Griffin juga dijelaskan:
"Hovland and his colleagues discovered that a message from a high_credibility source produced large shifts in opinion, compared to the same message coming from a low_credibility source"
("................ bahwa pesan yang berasal dari sumber kredibilitas yang tinggi akan menimbulkan perubahan pendapat yang cepat dibandingkan pesan yang sama dari sumber yang memiliki kredibilitas yang rendah")

Seperti dalam film "The Bone Collector"(1999), dalam film tersebut dapat dilihat pengaruh sebuah keahlian terhadap kepercayaan. Ketika seorang ahli forensik yang cacat, dipercaya ketika memilih seorang opsir polisi lalu lintas untuk membantunya menangani kasus pembunuhan berantai. Daripada menyerahkan kasus tersebut kepada seorang polisi yang normal(tidak cacat) namun memiliki kepribadian dan kemampuan menganalisa kasus yang kurang baik.

Bisa dikatakan bahwa kepribadian dan keahlian merupakan suatu hal yang pokok dalam berkomunikasi dengan orang lain. Orang yang berkepribadian yang baik dan memiliki suatu keahlian, pasti banyak orang yang menaruh kepercayaan padanya. Dan hal tersebut juga berlaku sebaliknya.

Contoh dan pembahasan di atas merupakan tradisi sosiopsikologi, yang berkonsentrasi pada aspek-aspek komunikasi yang meliputi ekspresi, interaksi dan pengaruh. Wacana dalam tradisi ini menekankan pada perilaku, variabel pengaruh, kepribadian dan tingkah laku, persepsi, kognisi, tindak tanduk, dan interaksi. Tradisi ini benar-benar tradisi yang kuat terutama pada saat kepribadian menjadi begitu penting, penilaian dibiaskan oleh kepercayaan dan perasaan, dan orang menjadi punya pengaruh atas orang lain.(www.teorikomunikasi-umy.blogspot.com)

Saturday, November 11, 2006

Televisi "Menuntun" Cara Berfikir Manusia
oleh:Dian Karyati P.(penulis adalah mahasiswi
jurusan Ilmu Komunikasi,Universitas
Muhammadiyah Yogyakarta,peserta mata
kuliah Komunikasi Massa 2006/2007


Saat ini televisi bukan sebuah hal yang baru. Hampir pada setiap rumah kita dapat menemukannya. Didukung dengan banyaknya stasiun televiasi yang ada, seperti: RCTI,SCTV,TPI,ANTEVE,INDOSIAR,TRANS TV,TV7,dsb. Stasiun-stasiun televisi tersebut kemudian memberikan program-program acara yang memikat pemiirsanya. Dari berita nasional,berita kriminal,sinetron,musik,sampai pada acara olahraga. Acara-acara tersebut pada prinsipnya memberikan kesenangan/hiburan kepada pemirsanya.

Dari televisi itulah terjadi proses penympaian pesan kepada khalayak,sehingga mereka dapat memperoleh informasi. Misalnya: ketika terjadi bencana gempa di Jogja dan Jawa Tengah pada 27 Mei lalu,dengan melihat beritanya di televisi,orang-orang dapat mengetahui situasi yang terjadi pada saat itu.

Namun disamping dengan segala keuntungan yang diperoleh,televisi telah banyak mempengaruhi cara berfikir manusia. Bisa dikatakan bahwa televisi telah mendarah daging dalam benak manusia. Dengan segala program televisi yang disuguhkan,dari acara yang berlatar belakang kekerasan,pornoaksi,maupun acara-acara musik ataupun acara bernuansa hiburan.

Hal ini merupakan bentuk dari efek media. Misal:ketika ada seorang anak balita yang melihat adegan perkelahian dalam film Power Rangers, kemudan ia menirukannya. Hal tersebut terjadi karena pada dasarnya anak-anak belum bisa membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, belum bisa membedakan mana kejadian nyata dan khayalan mereka. Biasanya anak-anak tersebut menganggap mereka bisa menirukan apa yang mereka lihat di televisi.

Dari contoh di atas,George Garbner menamakan proses ini sebagai cultivation(kultivasi), karena televisi dipercaya dapat berperan sebagai agen penghomogean dalam kebudayaan. Teori kultivasi sangat menonjol dalam kajian mengenai dampak kajian mengenai dampak media televisi terhadap khalayak. Bagi Garbner,dibandingkan media massa yang lain,teleisi telah mendapatkan tempat yang sedemikian signifikan dalam kehidupan sehari-hari sehingga mendominasi"lingkungan simbolik"kita,dengan cara menggantikan pesannya tentang realitas bagi pengalaman pribadi dan sarana mengetahui dunia lainnya(Mc Quail,1996:254)
(www.komunikasimassa-umy.blogspot.com)

Monday, October 30, 2006

Tradisi Semiotika dalam "Memaknai" Iklan Sprite Ice
oleh: Dian Karyati P.(penulis adalah
mahasiswi jurusan Ilmu Komunikasi,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,
peserta mata kuliah Teori Komunikasi 2006/2007)


Kita semua pasti ingat tentang iklan sprite ice. Dalam iklan tersebut digambarkan, seorang cowokyang bersuhu tubuh tinggi, tangannya dapat digunakan untuk mendidihkan air dan juga untuk menyetrika, punggungnyapun digunakan untuk membakar sate. Tetapi ketika dia minum sprite ice, seperti api disiram air, begitu tangannya menyentuh air di kolam renang, semuanya membeku, termasuk orang yang berenang di dalamnya.

Jika kita melihat iklan sprite ice dihubungkan denan tradisi semiotika dapat dimaknai bahwa produsen sprite ice, menginformasikan bahwa selain menghilangkan dahaga, sprite ice juga memberikan sensasi sedingin es. Dan konsumen yang menikmatinya dapat membayangkan dirinya seakan-akan dalam iklan tersebut.

Tradisi semiotika(semiology)merupakan tradisi yang difokuskan pada tanda-tanda dan simbol-simbol. Menurut Saussure, tanda bahasa (sign) tidak lepas dari beberapa unsur, yaitu pertama, penanda (signifier)dan petanda(signified). Penanda adalah aspek material dari satu tanda bahasa, sedangkan petanda adalah aspek mental dari tanda bahasa. Relasi keduanya bersifat arbiter(arbitraty) atau diada-adakan.Dalam kajian semiotika, bukan "isi' yang menentukan makna, tetapi "relasi-relasi" dalam berbagai sistem, seperti yang diutarakan oleh Saussure bahwa sifat yang paling tepat untuk menggambarkan konsep tersebut adalah "ada dalam keberadaannya, sedang yang lain tidak". Sehingga tidak ada makna pada dirinya sendiri, karena semua terbentuk dari relasi (Saussure dalam Berger 2000:7) (www.komunikasimassa-umy.blogspot.com)

Tradisi semiotika yang ada mendatangkan sesuatu yang mungkin dan tidak mungkin dibagi. Tradisi ini memang cocok untuk memecahkan masalah,kesalahpahaman dan respon-respon subyektif. (www.teorikomunikasi-umy.blogspot.com)